Tidak hanya itu, rupiah juga membukukan penguatan enam pekan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS). Dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 13,7 basis poin (bps) menjadi 6,931%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Ketika harga naik, berarti permintaan SUN sedang tinggi.
Risiko terjadinya perang antara AS dengan Iran menjadi penggerak utama pasar finansial di pekan ini.
Seperti diketahui sebelumnya, pada Rabu (8/1/2020) pagi kemarin, Iran menyerang pangkalan militer AS di Irak dengan belasan rudal. Pasar dibuat cemas akan risiko terjadinya perang yang lebih luas, tetapi Presiden AS, Donald Trump, mendinginkan situasi.
Dalam pidatonya pada Rabu (8/1/2020) malam terkait serangan rudal tersebut Trump mengatakan Iran "sepertinya mundur" setelah melakukan serangan tersebut. Ia juga menyatakan akan mengenakan sanksi ekonomi ke Teheran. Hal tersebut mengindikasikan Presiden AS ke-45 ini tidak akan menggunakan kekuatan militer, yang membuat sentimen pelaku pasar kembali membaik.
Presiden AS ke-45 ini juga mengatakan membuka peluang bernegosiasi dengan Iran. "Kita semua harus bekerja sama untuk mencapai kesepakatan dengan Iran yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman dan damai" kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International.
Tidak hanya Trump, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif juga mendinginkan suasana. Melalui akun Twitternya, ia mengatakan "Kami tidak ingin eskalasi atau perang, tapi kami akan membela diri terhadap agresi apapun".
Pidato Trump serta pernyataan Zarif mengindikasikan kedua negara tidak akan melakukan serangan militer lagi, yang membuat sentimen pelaku pasar kembali membaik dan masuk ke aset berisko serta berimbal hasil tinggi.
Selain dari eksternal, data ekonomi Indonesia juga mempengaruhi sentiment pelaku pasar dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia bulan Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 126,63 miliar. Cadangan devisa di bulan Desember tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Januari 2018.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangannya, Rabu (8/1/2020).
Dengan cadangan devisa yang meningkat, BI akan lebih leluasa menstabilkan nilai tukar rupiah ketika mengalami gejolak, sehingga investor akan merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain itu, pada hari Jumat (10/1/2020) BI melaporkan penjualan ritel di bukan November hanya tumbuh 1,3% secara tahunan, jauh di bawah pertumbuhan pada periode Oktober 2019 yang sebesar 3,6%.
Capaian tersebut juga jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya (November 2018) kala penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 3,4% secara tahunan.
Untuk periode Desember 2019, angka sementara dari BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel justru terkontraksi sebesar 0,2% secara tahunan, jauh di bawah capaian Desember 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,7%.
Laporan penjualan ritel tersebut cukup membebani IHSG hingga di hari Jumat, tetapi tidak terlalu berpengaruh ke rupiah maupun SUN.
https://www.cnbcindonesia.com/market/20200112165712-17-129424/dinanti-seluruh-dunia-ini-penggerak-utama-pasar-pekan-depanBagikan Berita Ini
0 Response to "Dinanti Seluruh Dunia! Ini Penggerak Utama Pasar Pekan Depan - CNBC Indonesia"
Post a Comment